Ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang berlimpah bukanlah jaminan untuk mendapatkan kemakmuran hidup. Sebagaimana salah satu definisi makmur dalam KBBI adalah “serba kecukupan; tidak kekurangan” maka rasa cukup dan rasa kurang itu berbeda-beda tiap individu. Bisa jadi dengan satu porsi yang sama, sebagian orang merasa cukup, namun sebagian lagi merasa kurang. Semuanya tergantung pada tingkat qanaah (merasa cukup atas pemberian Allah). Ketika rasa qanaah seorang hamba besar kepada Allah, maka rumah sederhana, makanan seadanya sudah cukup dikatakan makmur asalkan ia meletakkan rasa syukur dan qanaah pada hatinya. Rasa cukup itu tak sedikitkan mengarah pada harta yang melimpah, rumah yang mewah, dan makanan yang wah, bukan. Sekali lagi bukan! Perhatikan betapa banyak yang tampaknya sudah serba kecukupan, namun hatinya terus saja merasa kurang. Artinya ia belum merasakan kemakmuran.
Keberkahan turut pula menjadi sebab adanya rasa makmur pada hati seorang hamba. Keberkahan yang diberikan karena iman dan taqwa yang dirawat dengan amal shalih dan ketaatan tersebut digambarkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya dalam surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”
Betul sekali. Kemakmuran itu dekat kaitannya dengan keberkahan yang ada pada harta, makanan, dan segala hal yang Allah titipkan kepada kita. Harta yang berkah, makanan yang berkah akan membuat seseorang merasa cukup dengannya. Tidak banyak memang secara jumlah, tapi cukup memberikan manfaat yang banyak dalam kehidupan. Singkatnya, makmur itu bisa melekat pada harta yang banyak dan juga pada yang sedikit. Asalkan padanya ada keberkahan.
Lantas bagaimana langkah konkritnya agar negeri kita menjadi makmur, berikut ini pembahasannya.
- Dimulai dari diri pribadi
Setiap manusia berkewajiban untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Menjadi seorang hamba yang beriman dan bertaqwa serta mendakwahkan tauhid. Sebaik-baiknya dakwah adalah yang sesuai dengan prioritasnya. Memulai dakwah pada diri sendiri terlebih dahulu adalah jalan dakwah yang paling tepat. Tatkala segala keteladanan telah sirna dan pudar ditengah sebaran informasi yang sangat cepat dan masif seperti saat ini, memperbaiki masyarakat tak dapat dilakukan tatkala kita tidak memiliki usaha lebih untuk memperbaiki diri sendiri. Hari ini tidak cukup pandai berbicara, namun dibutuhkan contoh dan teladan. Karena menasihati dengan perbuatan itu lebih baik daripada lisan. Peluang perubahan itu terjadi setelah kita berusaha mengubah diri kita sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Terkadang lucu ketika ada seseorang dengan semangat berapi-api menggelorakan jihad dan mendesak pemerintah menegakkan negara tauhid serta mendesak agar dilakukan perubahan kebijakan yang lebih baik, namun ia tak pernah mau merubah dirinya lebih baik. Shalat subuh saja terlewat karena telat bangun. Ibarat pepatah yang mengatakan, udang dibalik batu kelihatan, gajah dipelupuk mata tak tampak
Saudara, tidak akan tegak tauhid pada diri kita sendiri kecuali dengan ilmu dan tidak diperoleh ilmu kecuali dengan belajar. Begitulah para salafus shalih, dimana waktu mereka banyak dihabiskan untuk mempelajari ilmu syar’i. Selanjutnya mengamalkan, mendakwahkan, serta bersabar dalam mendakwahkan ilmu syari tersebut. Urutan inilah yang benar. Tidak bisa tiba-tiba seseorang langsung berdakwah tanpa berilmu terlebih dahulu. Karena ilmu tersebut adalah pimpinannya amal. Posisinya selalu lebih awal daripada amal.
Perhatikan nasihat untuk setiap pribadi muslim sebagaimana yang dituturkan oleh Hasan al-Bashri -rahimahullah-
“Di antara tanda-tanda orang Islam adalah: kuat agamanya, teguh dalam kelembutan, iman dalam keyakinan, bijak dalam pengetahuan, menahan diri dengan kelembutan, memberikan hak, sederhana dalam kaya, tabah dalam beban, berbuat baik dalam kuasa, taat disertai nasihat, wara dalam keinginan, serta iffah (menjaga diri) dan sabar dalam kesulitan. Ia tak menjadi rendah karena ambisi dan tidak didahului oleh lidahnya, tidak diketahui oleh penglihatannya, tidak dikalahkan oleh kemaluannya dan tidak dibelokkan oleh keinginan, tidak dicela oleh lidahnya, tidak diremehkan oleh kerakusannya dan tidak menjadi gegabah oleh niatnya (al-Bidayah, 9/270)
Menjaga iman bukanlah hal mudah untuk dilaksanakan pada hari ini, kecuali bagi mereka yang Allah Ta’ala berikan hidayah dan taufik. Fitnah syubhat dan fitnah syahwat berada sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Barangsiapa yang berpaling dari iman dan mencoba-coba untuk mendekati fitnah tersebut maka ia pasti akan terbawa.
Menjadi hamba yang beriman sebagaimana berimannya Rasulullah, sahabat dan para salafus shaleh adalah satu-satunya jalan untuk sampai pada keberkahan yang menjadi sebab utama terjadinya kemakmuran. Hanya dengan jalan inilah kita akan sampai pada surga-Nya Allah Ta’ala. Jalan yang tidak mudah. Jalan yang tidak mulus. Jalan yang penuh dengan duri dan rintangan.
Jika ingin menjadi negeri yang makmur, kenapa harus dimulai dari diri sendiri? Karena dihadapan Allah pertanggungjawaban tetap masing-masing. Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid mengatakan, “Seseorang bertangung jawab untuk dirinya, pertanggung jawaban secara individu dan akan dihisab dan ditanya sendirian sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. (Allah azza wa jalla berfirman yang artinya) “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. Maryam: 93-95)’”
- Doakan para pemimpin kita
Doa adalah senjata orang mukmin. Dengan senjata tersebut, seseorang dapat memanjatkan doa untuk kebaikan sebuah negeri sehingga terlahirlah kemakmuran. Di antara doa yang paling baik adalah doa yang ditujukan kepada para pemimpin. Sebagaimana perkataan Fudhail bin Iyadh seorang tokoh terkemuka dari generasi tabi’ut tabi’in, “Seandainya aku punya doa yang mutajab, akan ku tujukan doa tersebut buat pemimpinku” (Hilyatul Auliya, 8/77).
Contoh nyatanya adalah sebuah daerah tandus yang kemudian menjadi negara makmur, yaitu Arab Saudi. Dimana daerah ini pernah di doakan oleh Nabi Ibrahim -alaihissalam- sebagaimana tertuang dalam firman Allah, “Ya Allah, jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala” (QS. Ibrahim :35)
Sebagai seorang mukmin kita diperintahkan untuk mentaati pemimpin kita selagi ia tidak memerintahkan kepada yang mungkar, sebagaimana sabda Rasulullah “Dan barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835)
Dalam firman Allah Ta’ala yang lainnya disebutkan, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An-Nur: 55)
Ketaatan yang kita tunjukkan kepada para pemimpin juga bagian dari sebab Allah berikan kemakmuran kepada sebuah negeri. Dengan mentaati pemimpin, seorang mukmin dianggap juga mentaati Rasulullah. Beginilah cara yang benar, tidak seperti sebagian cara kaum muslimin yang melakukan pemberontakan, demonstrasi, aksi di jalanan untuk menghujat dan mencela pemerintah. Apakah manfaat yang dirasakan setelah itu?
Saudara, kemakmuran yang merupakan anugerah dari Allah hanya akan diperoleh jika kaum muslimin mencarinya dalam Islam. Sebagaimana Umar bin Al-Khattab berkata, “Dahulu kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan agama Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita (HR. Al-Hakim, dinyatakan shahîh oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa untuk berpegang pada prinsip yang sesuai dengan akidah ahlus sunnah wal jamaah akan selalu ada konsekuensinya. Apakah itu dimusuhi, diejek, direndahkan, disudutkan dan sebagainya. Namun, kita harus berbangga karena inilah jalan para Nabi dan Rasul. Dimana tidak ada satupun Nabi dan Rasul yang datang membawa risalah melainkan akan dimusuhi oleh masyarakatnya. Begitu pula Rasul kita yang agung, dimusuhi oleh kaumnya padahal ia dikenal sebagai orang yang paling agung akhlaknya. Ingat perkataan Waraqah bin Naufal kepada Muhammad yang ketakutan karena baru saja menerima wahyu di Gua Hira, Waraqah berkata, “Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa ini melainkan akan dimusuhi dan jika aku masih hidup pasa saat itu niscaya aku akan membelawamu dengan segenap jiwaragaku”
Begitupula dua langkah konkrit yang menjadi sebab makmurnya negeri kita ini yaitu pertama, kita memulai dari diri sendiri. Kedua, mendoakan kebaikan bagi para pemimpin. Sangat tidak mungkin akan dianggap sebagai orang yang tidak peduli lingkungan, tidak mau berjihad, menghindari amar ma’ruf nahi mungkar.
Penyusun : Radikal Yuda Utama, S.E. (Alumnus Ma’had Al-’Ilmi Yogyakarta)
Murajaah: Ustadz Abu Salman